Jama Masjid yang berdiri di kawasan Naga Toli, Rohtas, Bihar, merupakan salah satu peninggalan penting dari masa pemerintahan Sher Shah Suri. Masjid ini dibangun di bawah pengawasan Habash Khan, seorang tokoh berpengaruh dalam struktur militer sekaligus administrasi kerajaan. Didirikan pada abad ke-16, masjid ini seharusnya menjadi pusat peribadatan dan simbol kejayaan arsitektur Islam di India Utara.
Namun, hari ini pemandangan yang tersaji di Jama Masjid Rohtas jauh dari gambaran kemegahan sejarahnya. Di tempat yang seharusnya dipenuhi lantunan doa, kini justru terlihat kotoran dan jejak hewan ternak. Masjid yang pernah menjadi pusat spiritual dan sosial itu perlahan berubah menjadi bangunan sepi yang nyaris tak terurus.
Bagi warga sekitar, kondisi ini menjadi ironi yang menyakitkan. Mereka tahu bahwa masjid ini adalah bagian dari identitas sejarah wilayah Rohtas, tetapi perhatian pemerintah maupun lembaga pelestarian budaya sangat minim. Bangunan tua itu hanya berdiri sendiri, menunggu nasib tanpa kepastian.
Arsitektur Jama Masjid Rohtas menunjukkan ciri khas gaya Sur yang kokoh dan sederhana. Dindingnya terbuat dari batu pasir lokal yang terkenal kuat, sementara desain interiornya menampilkan lengkungan khas era Islam abad pertengahan. Namun semua keindahan itu tertutup oleh debu, lumut, dan kotoran yang menumpuk dari tahun ke tahun.
Sejumlah peneliti sejarah menilai bahwa masjid ini seharusnya menjadi bagian penting dari wisata budaya di Bihar. Rohtas sendiri dikenal sebagai kawasan dengan benteng besar peninggalan Sher Shah Suri, dan masjid ini semestinya menjadi pelengkap narasi sejarah yang utuh. Sayangnya, potensi itu tidak tergarap dengan baik.
Bagi umat Muslim di Rohtas, Jama Masjid memiliki makna spiritual yang mendalam. Ia bukan hanya bangunan tua, melainkan saksi dari peradaban Islam yang pernah berakar kuat di kawasan ini. Namun, ketika masjid tidak lagi difungsikan sebagaimana mestinya, rasa keterasingan pun muncul di tengah komunitas.
Seiring berjalannya waktu, bangunan masjid yang terbengkalai kerap dijadikan tempat persinggahan hewan. Kotoran sapi dan kambing terlihat di lantai masjid, menciptakan pemandangan yang kontras dengan fungsi aslinya sebagai rumah ibadah. Kondisi ini mencerminkan kelalaian dalam merawat warisan sejarah.
Di sisi lain, banyak pihak menyoroti lemahnya koordinasi antara lembaga keagamaan, masyarakat lokal, dan pemerintah daerah. Masjid ini seolah menjadi tanggung jawab yang tak diperebutkan. Tidak ada program renovasi, tidak ada upaya serius untuk menghidupkan kembali perannya, hanya meninggalkan kesedihan di mata mereka yang peduli.
Sejumlah aktivis budaya di Bihar telah menyuarakan keprihatinan atas kondisi Jama Masjid Rohtas. Mereka mendesak agar bangunan ini segera masuk dalam daftar perlindungan arkeologi resmi. Dengan begitu, ada peluang untuk mendapatkan dana restorasi dan perhatian dari pemerintah pusat.
Jika melihat sejarahnya, Jama Masjid bukanlah bangunan sembarangan. Sher Shah Suri dikenal sebagai penguasa visioner yang membangun infrastruktur besar, termasuk jalan raya Grand Trunk Road yang legendaris. Masjid di Rohtas ini adalah bagian dari warisan besar itu, yang seharusnya mendapat perlakuan istimewa.
Sayangnya, dibandingkan dengan bangunan ikonik lain seperti benteng Rohtasgarh, masjid ini kurang dikenal publik. Popularitas yang rendah membuatnya semakin mudah dilupakan. Padahal, dalam kacamata sejarah, setiap detail bangunan dari era Sur adalah potongan puzzle penting untuk memahami India abad ke-16.
Masyarakat lokal berharap ada program renovasi yang nyata. Mereka menginginkan masjid ini kembali difungsikan, setidaknya sebagai tempat ibadah musiman atau sebagai situs wisata budaya yang terawat. Dengan begitu, nilai spiritual dan ekonomisnya bisa kembali dirasakan.
Namun upaya semacam itu bukan tanpa tantangan. Restorasi membutuhkan biaya besar, keahlian khusus, dan kesepakatan lintas institusi. Jika tidak ada keseriusan dari pemerintah Bihar maupun lembaga arkeologi nasional, kecil kemungkinan perubahan nyata terjadi dalam waktu dekat.
Sejumlah sejarawan bahkan mengingatkan bahwa jika kondisi ini dibiarkan, masjid berisiko hancur total dalam beberapa dekade mendatang. Batu pasir yang menjadi material utama memang kuat, tetapi tanpa perawatan, pelapukan alami akan terus menggerogoti struktur bangunan.
Ironinya, masjid yang dulu menjadi simbol kemakmuran kini justru merepresentasikan kelalaian. Di tengah gencarnya kampanye pelestarian warisan budaya di berbagai belahan India, Jama Masjid Rohtas masih terjebak dalam ketidakpedulian.
Jika dibandingkan dengan Jama Masjid Delhi atau masjid-masjid besar lain di India, nasib Jama Masjid Rohtas memang jauh berbeda. Namun bukan berarti ia tidak layak diperhatikan. Justru karena ukurannya lebih kecil dan lokasinya lebih terpencil, perhatian khusus seharusnya lebih diberikan.
Kesadaran publik menjadi kunci penting dalam menyelamatkan masjid ini. Jika masyarakat Bihar dan kalangan akademisi bisa bersama-sama mengangkat isu ini, peluang intervensi pemerintah akan semakin besar. Media juga punya peran penting untuk menyoroti kondisi memilukan masjid ini.
Bagi umat Islam, doa dan ibadah di Jama Masjid Rohtas mungkin sudah lama hilang. Tetapi bagi para pecinta sejarah, bangunan ini masih menyimpan doa lain: doa agar ia tidak lenyap ditelan waktu. Itulah sebabnya pelestarian bukan hanya tentang batu dan dinding, melainkan juga tentang menjaga identitas sebuah peradaban.
Di tengah keterabaian, Jama Masjid Rohtas masih berdiri. Mungkin dengan dinding yang retak, lantai yang kotor, dan suasana yang sepi, tetapi ia tetap ada. Keberadaannya adalah pengingat keras bahwa sejarah bisa hilang jika manusia lalai.
Kini, bola berada di tangan masyarakat dan pemerintah. Apakah mereka akan membiarkan Jama Masjid Rohtas runtuh pelan-pelan, ataukah mereka akan menjadikannya simbol kebangkitan baru bagi pelestarian sejarah Bihar? Pertanyaan itu masih menggantung, sementara masjid terus menangis menunggu jawaban.
0 Komentar