Jejak Melayu di Tiongkok Melalui Suku Utsul




Di tengah dominasi etnis Han dan kelompok mayoritas lain di daratan Tiongkok, terdapat sebuah komunitas kecil yang menyimpan jejak linguistik dan budaya Austronesia (Melayu). Mereka adalah suku Utsul, kelompok minoritas yang menetap di wilayah selatan Pulau Hainan, tepatnya di sekitar kota Sanya. Meskipun jumlahnya kecil dan sering dianggap bagian dari kelompok Hui oleh pemerintah Tiongkok, identitas mereka sebenarnya jauh lebih kompleks dan menarik untuk ditelusuri.

Suku Utsul diyakini berasal dari migrasi kuno rumpun Cham, yang sebelumnya tinggal di kawasan Vietnam tengah hingga Kamboja, yang merupakan wilayah kekuasaan Kerajaan Champa. Saat kerajaan tersebut runtuh pada abad ke-15 akibat ekspansi Vietnam, sebagian komunitas Cham bermigrasi ke arah barat dan selatan, termasuk ke pulau Hainan yang berada di lepas pantai selatan Tiongkok.

Komunitas Utsul mempertahankan keyakinan Islam yang kuat, dan secara fisik serta budaya, mereka sering disalahartikan sebagai bagian dari etnis Hui. Namun, berbeda dengan Hui yang berakar dari campuran etnis Han dan pedagang Muslim Asia Tengah, Utsul justru berasal dari latar belakang Austronesia, serumpun dengan suku Cham, Melayu, Bugis, hingga Maori.

Bahasa asli suku Utsul, yang kini hampir punah, tergolong dalam cabang Malayo-Polynesia dari rumpun Austronesia. Meskipun pengaruh bahasa Mandarin dan bahasa Hui sangat kuat di wilayah mereka, para peneliti linguistik berhasil mengidentifikasi sisa-sisa struktur bahasa Austronesia dalam kosakata dan tata bahasa lisan komunitas ini.

Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Utsul menjalani praktik keislaman seperti shalat lima waktu, mengenakan pakaian tradisional Muslim, dan menyelenggarakan perayaan Idul Fitri serta Idul Adha. Mereka memiliki masjid-masjid kecil dan lembaga pendidikan agama yang mempertahankan tradisi Islam sejak nenek moyang mereka tiba di pulau ini berabad-abad lalu.

Satu hal yang membedakan Utsul dari kelompok Muslim lain di Tiongkok adalah unsur budaya maritim dan sosial mereka yang masih mencerminkan nilai-nilai Austronesia. Sistem kekerabatan mereka, pola pemukiman, serta upacara-upacara komunitas memiliki kemiripan dengan komunitas Cham dan Austronesia di Asia Tenggara.

Sayangnya, karena jumlahnya yang sangat kecil—diperkirakan hanya beberapa ribu orang—dan asimilasi yang kian masif, identitas Austronesia Utsul semakin kabur. Pemerintah Tiongkok secara administratif mengelompokkan mereka sebagai bagian dari suku Hui, yang membuat aspek linguistik dan budaya Austronesia mereka terpinggirkan.

Selain faktor administratif, tekanan sosial dan ekonomi membuat generasi muda Utsul lebih banyak menggunakan bahasa Mandarin dan tidak lagi mempelajari bahasa asli mereka. Sekolah-sekolah di Hainan juga tidak menyediakan kurikulum bahasa Utsul atau pelajaran sejarah komunitas lokal, yang mempercepat laju kepunahan bahasa mereka.

Para peneliti dari luar Tiongkok, terutama dari Asia Tenggara dan Eropa, telah melakukan studi lapangan untuk mendokumentasikan warisan bahasa dan budaya Utsul. Beberapa dari mereka menyebut komunitas ini sebagai "Cham terakhir di Tiongkok," merujuk pada kemiripan bahasa dan sejarah migrasi mereka dari bekas wilayah Champa.

Salah satu aspek yang masih lestari di komunitas Utsul adalah arsitektur rumah dan struktur masjid yang memiliki ciri khas lokal, seperti ukiran kayu dengan motif laut dan geometris. Ini mencerminkan hubungan historis mereka dengan budaya pesisir dan pelayaran, yang menjadi karakter kuat komunitas Austronesia pada umumnya.

Selain suku Utsul di Hainan, jejak Austronesia di wilayah daratan utama Tiongkok hampir tidak ada. Beberapa teori arkeologis menyebut bahwa asal-usul rumpun Austronesia bermula dari kawasan pesisir selatan Tiongkok atau Taiwan, sebelum menyebar ke Filipina, Indonesia, dan Samudra Pasifik. Namun, komunitas aslinya di daratan Tiongkok kini telah hilang atau terasimilasi.

Taiwan sendiri memiliki banyak komunitas asli Austronesia seperti Amis, Atayal, Paiwan, dan Bunun. Kelompok-kelompok ini masih mempertahankan bahasa dan budaya Austronesia dengan dukungan pemerintah dan lembaga internasional. Namun, Taiwan memiliki status politik tersendiri yang membuatnya terpisah dari pembahasan komunitas minoritas di daratan Tiongkok.

Utsul menjadi satu-satunya komunitas Austronesia yang masih bertahan di wilayah administratif Tiongkok secara formal. Identitas ganda mereka—sebagai Muslim dan sebagai keturunan Cham—membuat posisi mereka unik, namun juga rentan terhadap penghilangan identitas kultural yang lebih dalam.

Di tengah gelombang globalisasi dan kebijakan homogenisasi budaya, upaya untuk melestarikan identitas Utsul menjadi semakin penting. Pengakuan sebagai kelompok etnis yang berbeda dari Hui akan menjadi langkah awal dalam menjaga bahasa, sejarah, dan warisan budaya mereka yang unik.

Kerja sama antara akademisi, komunitas Muslim internasional, dan organisasi pelestarian budaya dapat menjadi jembatan penting untuk memberi ruang hidup yang layak bagi budaya Utsul. Mereka bukan sekadar minoritas, tapi juga pewaris salah satu cabang peradaban maritim tertua di Asia.

Pelestarian komunitas Utsul juga dapat menjadi pintu masuk untuk memahami lebih luas lagi penyebaran dan peran rumpun Austronesia di sepanjang pesisir Asia. Kisah migrasi mereka melintasi Laut Cina Selatan menunjukkan kemampuan adaptasi dan ketahanan budaya yang luar biasa.

Di masa depan, Utsul berpotensi menjadi simbol hubungan sejarah antara Tiongkok dan Asia Tenggara, terutama dengan komunitas Melayu, Cham, dan bangsa-bangsa Austronesia lainnya. Jejak ini menunjukkan bahwa batas negara tidak selalu membatasi budaya yang telah menyebar jauh sebelum konsep negara modern lahir.

Keberadaan suku Utsul adalah pengingat bahwa warisan budaya bisa bertahan bahkan dalam keterasingan. Mereka menyimpan lapisan sejarah yang kaya akan nilai-nilai keberagaman dan ketangguhan budaya Austronesia. Melindungi mereka berarti melindungi jejak peradaban maritim yang menyatu dengan daratan Asia.

0 Komentar

Terbaru