Sejarawan Sayangkan Tidak Terawatnya Destinasi Sejarah Pemakaman Raja-Raja Pasai di Medan

VANDALISME PERADABAN DI TEPIAN KOTA MEDAN  (1) :  HANCURNYA KOMPLEKS MAKAM SULTAN PASAI, KESULTANAN ISLAM TERBESAR ASIA TENGGARA 

Menyeberangi titi bambu yang hampir patah, naik ke atas dataran tinggi, kemarin petang (29.10.2020) saya berjuang agar dada tak makin terasa sesak. Sesak melihat hamparan ceceran  patahan patahan nisan  dan penghancuran kompleks pemakaman Sultan Pasai abad 15, di Klambir Lima,  enam  Kilometer di perbatasan Barat  Laut  kota Medan, di bibir  kebun PTPN 2. 

Saya pegang kepingan inskripsi nisan, perlihatkan lewat video call ke Mizuar Mahdi, Ketua MAPESA  (Masyarakat Peduli Sejarah Aceh). Suara nya parau, terdengar mengulang ulang  : 
 "... ya, ya, agaknya itu makam Sultan Pasai yang kami cari cari, makam Sultan Pasai yang berada di kerajaan Aru. Ini Sultan Pasai yang makam nya belum ditemukan sampai saat ini di Aceh".

Tangan saya mencoba membersihkan semak semak sekitar makam, mematahkan ranting daun petai liar, mencari cari sambungan inskripsi yang patah di sela runtuhan. Segera nampak balok batu besar dan sebaran batu bata unik yang menandakan ini bukan makam orang biasa, ini kompleks makam orang besar. Dari video call kedengaran lagi suara Mizuar itu : "... pola struktur bangunan nya sama dengan kompleks makam sultan sultan Pasai di Aceh. Balok balok tembok batu, sebaran batu bata itu sama ....". Suara Mizuar itu menambah rasa gelisah dan risau saya di sela sela runtuhan peradaban besar yang menyimpan misteri, jejak peradaban besar Islam di provinsi yang  punya Gubernur dengan motto bermartabat. 

Kata kata Mizuar di video call yang memastikan ini  kompleks makam Sultan Pasai di kerajaan Aru, menimbulkan banyak tanda tanya. 

Keliru kah para menyusun historiografi kuno yang membuat narasi seakan Pasai dan Aru bermusuhan? Makam ini menunjukkan persahabatan kah, pendudukan Aru oleh Pasai kah? 

Abu Bakar Bamuzaham dari Solo, team Islam Today yang mengikuti ke manapun saya melangkah dalam jelajah nisan Islam sekitar Medan ini, mengingatkan catatan Ibnu Battuta tentang pertemuan nya dengan Sultan Pasai. Sejarahwan otodidak dari Solo itu kemudian menyuarakan  narasi berbagai rujukan yang selalu dibawa bawanya saat blusukan di makam makam kuno mulai dari Kota Rentang, Martubung, makam makam tepian Sei Deli, ke museum sampai ke Klambir yang mengejutkan ini. Hubungan Pasai - Aru pra kerajaan Aceh muncul menjadi santapan kami di atas situs situs ini. 

Siapa yang menghancurkan nya? Aru belakangan yang diserang Aceh Iskandar Muda? Atau pekerja onderneming era Belanda? Atau pencari barang antik yang menduga ada emas dan berlian di batuan makam?

Lalu kenapa tidak di pugar, tidak direstorasi, tidak dirawat oleh pemerintah, jejak sejarah peradaban penting ini? Kemana BPCB, Direktur Perlindungan Cagar Budaya? Ah sudahlah, tak usah bertanya. Lakukan apa  yang bisa dilakukan kampus ataupun komunitas pencinta heritage. 

Dan menjelang senja, dengan langkah gontai kami susuri jalan pulang, melewati ladang bunga Melati, tatapan mata warga di kampung yang tersuruk. Petang ini kami jelajah dua kompleks makam dengan nisan tipe Pasai, masih ada dua kompleks lagi di semak semak yang tak sempat dikunjungi di ujung senja itu. 

Sambil melangkah, pikiran saya berkecamuk. Ini bukan sekedar makam. Ini teks peradaban besar di dalam Indonesia yang terus menerus mengalami kemunduran adab, tapi ah entah lah. Makin sesak saja dada ini. (Ichwan Azhari)

0 Komentar