Benarkah Ekonomi Mesir Hancur karena Militerisme?


Banyak analisis belakangan menduga ekonomi Mesir seharusnya menjadi yang terkuat di Afrika Utara mengalahkan pemain lainnya.

Namun hal itu kurang bisa dimanfaatkan karena militerisme yang kuat paska kudeta Presiden Muhammad Mursi, yang pertama terpilih secara demokratis.

Namun menyalahkan militer tidaklah sepenuhnya benar. Mungkin yang disalahkan adalah militerisme. Atau yang memanfaatkan militer untuk kepentingan pribadi.

Sebagaimana diketahui Mesir adalah negara besar dengan jumlah penduduk di hampir 100 juta. Mesir sekelas dengan Ethiopia yang sudah berpenduduk 100 juta lebih sedikit.

Saat ini justru Ethiopialah yang dianggap sebagai calon 'Tiongkok' nya Afrika dengan booming ekonomi yang memukau.

Maskapai Ethiopia kini salah satu terbesar dan populer di dunia, berbeda dengan maskapai Mesir yang tidak ada apa-apanya dibanding Emirates dan lain sebagainya.

Walaupun begitu tidak mudah bagi Mesir untuk membuka pasar dengan bebas seperti Ethiopia. Bisa-bisa nasib Mesir akan seperti Bangladesh atau Pakistan, negara dengan ekonomi terbuka tapi jarang peminat investasi dari luar negeri.

Karena beban geopolitik sebagai negara besar dan berpenduduk Muslim pula, militer Mesir menjadi aktor utama yang bisa menggerakkan ekonomi. Aktor lain, selain tidak bisa tapi juga tidak dibolehkan.

Siapakah itu? Kalangan sipil. Sebagaimana diketahui, potensi sipil Mesir memang sangat kuat khususnya di bidang ekonomi.

Seharusnya Mesir memanfaatkan merekka tapi beban politik kurang menguntungkan.

Kalangan menengah ke bawah Mesir yang menjadi tulang punggung ekonomi Mesir adalah intelektual yang pada umumnya berasal dari Ikhwanul Muslim (IM).

Tapi membiarkan masyarakat menikmati kebebasan sama saja membiarkan IM kembali bangkit secara ekonomi dan politik. Laku apa gunanya mengkudeta Mursi?

Logikan ini sangat difahami oleh penguasa militer Mesir jadi sebisa mungkin masyarakat akan dijegal dan dikekang untuk mandiri secara ekonomi walau sebagai lips service akan tidak mengatakan demikian. Tapi mereka akan dipersulit mendapatkan izin, dipersulit di perpajakan dan bisa-bisa diringkus jika usahanya sudaha mulai mapan dengan dalih hukum yang sudah dipersiapkan.

Lalu jika mayoritas rakyat sudah diborgol secara politik, ekonomi dan sosial, siapa lagi harapan dari sipil? Ada, yaitu kalangan konglomerasi Kristen yang sudah mendapat perlakuan istimewa sejak dahulu, bahkan sejak era Rasulullah SAW.

Namun memberikan kuasa ekonomi kepada hanya 10 persen penduduk sama saja sebuah tirani baru. 

Ekonomi mungkan akan berkembang tapi akan berbentuk artifisial, militer akan menjadi budak membatain rakyat dan negara bisa berputar-putar abadi di masalah yang tak penting agar minoritas tetap lebih sejahtera. Ini sudah terjadi di mana-mana di dunia bahkan dalam sejarah.

Jika memang tirani adalah solusinya, maka tirani militerlah solusinya. Keputusan ini kelihatannya sudah diambil oleh Mesir. Militer harus bergerak kalau tidak Mesir bisa jatuh menjadi negara miskin tapi dengan risiko Mesir akan sukit berkembang karena militer juga punya batasan-batasan bawaan lahir.

Secara umum penggunaan militer sudah jamak dilakukan oleh berbagai negara di dunia.

Amerika Serikat, Tiongkok, Rusia, Jerman dan lain sebagainya juga mengandalkan militer. Hanya bagaimana penerapan militer dalam ekonomi, itu yang menjadi persoalan.

Saat AS perang dagang dengan Tiongkok, dan petinggi perusahaan IT ditangkap, ternyata mereka adalah militer atau eks militer yang masih taat pada rantai komando.

Begitu juga di AS, banyak perusahaan minyak, startup teknologi dan lain sebagainya pada awalnya didirikan oleh militer atau intelijen. Namun di AS, ketika sebuah perusahaan sudah mapan atau go publik, perlahan mereka menarik dan mengurangi komponen militernya dan membiarkan perusahaan berkembang dengan alami di pasar. Walau tetap dipantau oleh intelijen bisnis.

Begitu juga di Rusia dan negara lainnya. 

Namun kritik kepada penguasaan militer Mesir atas ekonomi adalah, masuknya militer di sektor UKM atau usaha yang sangat recehan.

Jika semisal toko kelontong atau warung pinggir jalan pun harus dikuasai militer, baik dengan tujuan penguasaan ekonomi maupun intelijen, ini sama saja membuat atau menambah pengangguran di masyarakat.

Ini hampir mirip dengan era Orde Baru di Indonesia yang mana koperasi polsek dan kodim berkompetisi secara langsung dengan masyarakat kecil di bisnis eceran.

Otimatis pelaku usaha sipil akan mati atau menutup usahanya karena segan dengan aparat. Akhirnya bisnis aparat hanya disaingi oleh pelaku bisnis eceran dari WNI keturunan tertentu.

Seharusnya Mesir meniru cara berbisnis militer Amerika Serikat atau Tiongkok belakangan ini. Menggarap perusahaan-perusahaan multi nasional dan omset yang kakap karena modal untuk itu sudah ada.

Militer Mesir sudah melakukan hal itu taoi hanya pada bidang konstruksi atau properti.

Mereka belum berani head to head di sektor IT dan otomotif dengan Tiongkok yang memiliki bisnis militer yang lebih mapan.

Intinya, militer Mesir bukanlah faktor utama merusaka ekonomi Mesir karena beban negara besar dan beban sejarah yang tidak kecil mengharuskan hanya militer Mesirlah yang boleh berbisnis di negeri Firaun itu.


0 Komentar