DR Kongo, Negara dengan Masjid Terbanyak Kedua di Dunia

Jumlah masjid mencapai 385.000 di Republik Demokratik Kongo, lebih banyak dari Pakistan dan India.

Islam masuk ke wilayah yang kini dikenal sebagai DR Kongo jauh sebelum penjajahan Eropa tiba. Jalur perdagangan lintas Sahara dan pergerakan suku-suku dari Afrika Timur seperti Zanzibar dan Arab Swahili turut membawa ajaran Islam ke bagian timur dan tengah benua Afrika. Pedagang-pedagang Arab tidak hanya berdagang gading dan komoditas lainnya, tetapi juga menyebarkan ajaran agama Islam secara damai di antara komunitas lokal.

Meski begitu tidak ada kesultanan besar dalam skala global seperti di Timur Tengah atau Asia Tenggara yang pernah berdiri di Kongo. Namun, sejumlah kerajaan kecil dan komunitas Muslim otonom tercatat berkembang, terutama di bagian timur Kongo, seperti di wilayah Kisangani, Kindu, dan Kalemie. Beberapa penguasa lokal bahkan memeluk Islam dan menggunakan hukum Islam dalam urusan adat dan perdagangan.

Selama abad ke-19, pengaruh Islam semakin besar ketika kawasan timur Kongo menjadi bagian dari jaringan perdagangan Arab-Swahili. Kota-kota seperti Uvira dan Bukavu di dekat Danau Tanganyika menjadi pusat penting dakwah Islam yang diorganisasi oleh komunitas-komunitas suku seperti Hemba, Tabwa, dan Nyanga yang banyak bersentuhan dengan pedagang Muslim dari Tanzania dan Burundi.

Kendati populasi Muslim ditekan habis-habisan pada era penjajahan Eropa, angka masjid yang begitu besar mengindikasikan struktur komunitas yang kuat dan tersebar. Berbeda dengan negara-negara Muslim lain yang memiliki masjid besar berskala monumental, masjid di Kongo sebagian besar berupa bangunan kecil di perkampungan-perkampungan Muslim yang terpencil. Hal inilah yang menjelaskan jumlahnya bisa sangat besar, meski ukurannya tak mencolok.

Beberapa masjid terpopuler di DR Kongo mencerminkan identitas dan sejarah komunitas Muslim di sana. Di antaranya adalah Masjid Al-Taqwa di Kinshasa, Masjid Bilal di Kisangani, Masjid Agung Bukavu, Masjid Nur di Kindu, dan Masjid Jami' Kalemie. Selain itu ada pula Masjid Ansar di Goma, Masjid Usman bin Affan di Lubumbashi, Masjid Istiqlal di Beni, Masjid Umar Mukhtar di Uvira, dan Masjid Al-Falah di Mbandaka.

Para tokoh Muslim di Kongo memainkan peran penting dalam menjaga identitas Islam di tengah tantangan keterbatasan dan diskriminasi. Beberapa nama yang cukup dikenal antara lain Sheikh Ali Mahamud dari Bukavu, Ustaz Khalid Lubala dari Kindu, Imam Musa Katembo dari Goma, serta Dr. Mahamat Sidik dari Universitas Islam Kinshasa. Mereka aktif dalam dakwah, pendidikan, serta advokasi minoritas Muslim di negara tersebut.

Sebaran komunitas Muslim cukup merata, namun ada wilayah-wilayah tertentu yang dikenal sebagai kantong utama Muslim. Di antaranya adalah Goma, Bukavu, Uvira, Kindu, Beni, Kalemie, Lubumbashi, Kisangani, Kananga, dan Kolwezi. Di kota-kota inilah aktivitas keagamaan, pendidikan Islam, serta perayaan hari-hari besar Islam berlangsung dengan meriah.

Meskipun kurang dikenal dunia, umat Islam di DR Kongo memiliki struktur organisasi yang solid. Beberapa organisasi Islam besar bahkan memiliki jaringan pendidikan dan sosial, termasuk sekolah-sekolah Islam, madrasah, serta klinik dan lembaga zakat. Hal ini menjadikan Islam sebagai kekuatan sosial yang penting dalam jaringan komunitas akar rumput di sana.

Pemerintah DR Kongo umumnya bersikap toleran terhadap komunitas Muslim, meskipun pada masa lalu pernah terjadi diskriminasi terbatas di tingkat administratif. Namun secara umum, kehidupan beragama di Kongo berlangsung damai. Hari-hari besar Islam seperti Idul Fitri dan Idul Adha dirayakan secara terbuka di berbagai kota besar.

Beberapa tantangan tetap dihadapi oleh komunitas Muslim, terutama dalam akses terhadap pendidikan agama yang berkualitas serta pengakuan politik dalam struktur negara. Meski begitu, generasi muda Muslim Kongo mulai menunjukkan partisipasi lebih aktif dalam kehidupan publik, termasuk dalam dunia usaha, media, dan politik lokal.

Jumlah masjid yang besar juga menjadi indikator betapa Islam telah mengakar di kalangan masyarakat pedalaman. Di desa-desa kecil, satu masjid bisa melayani satu atau dua keluarga, dan tidak jarang dibangun secara swadaya tanpa bantuan dari luar negeri. Tradisi gotong royong dalam pembangunan tempat ibadah ini mencerminkan semangat keislaman yang kuat meski dalam keterbatasan.

Dengan 385 masjid, DR Kongo menjadi negara kedua setelah Indonesia dalam hal jumlah masjid. Ini mengingatkan bahwa Islam bukan hanya agama Timur Tengah atau Asia, tetapi juga telah menjadi bagian penting dari sejarah dan identitas Afrika.

Melihat ke depan, pertumbuhan komunitas Muslim di Kongo diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan urbanisasi dan mobilitas penduduk. Ini juga menandakan peluang besar dalam membangun jembatan solidaritas antara Muslim Afrika dan dunia Islam secara lebih luas.

Kisah Islam di DR Kongo membuka mata dunia akan keragaman sejarah Islam di Afrika Sub-Sahara. Dari lorong-lorong pasar Kisangani hingga padang rumput Uvira, gema azan terus berkumandang sebagai bukti bahwa Islam telah menjadi bagian tak terpisahkan dari tanah Kongo.

0 Komentar